Rabu, 17 April 2013

Kopi Kita

Bagaimana aku bisa bosan membagi kisah denganmu, bila selalu saja ada hal baru yang kita bicarakan. Bukan sekedar bicara. Bukan sekedar hal baru yang biasa. Namun tentang satu pelajaran hidup. Obrolan ringan malam ini, berawal dari secangkir kopi, ketika kamu menerangkan tentang apakah itu kopi luwak pada si kecil. Aku terpingkal-pingkal ketika tahu bahwa si kecil bingung dengan deskripsi "Kopi Luwak". "Kopi itu kan tumbuhan Yah? dan Luwak itu kan binatang?" dan aku kembali tersenyum manakala mendengar kesabaranmu menerangkan dengan panjang lebar padanya apakah itu "Kopi Luwak". Kebetulan, pada saat yang sama, aku tengah menyeduh kopi hitam disini, sambil tersenyum simpul mendengarkan penjelasanmu. kamupun akhirnya beranjak menyeduh secangkir White Cofee. Dengan dua cangkir kopi yang sesungguhnya, satu di sini dan satu lagi di tempatmu, melengkapi obrolan kesana kemari, meskipun tak saling memandangi, namun serasa tengah berbincang bersama, tak mengurangi kenikmatan kopi sore kita.

Sore ini tentang seputar sekolah anak-anak, tentang si kecilku yang besok menghadapi Unas (yang tengah menjadi trending topik), bagaimana tegangnya kami menghadapi ini, hingga kamu pun ikut tegang dan protes  keras karena aku tidak tahu jadwal ujian si kecilku besok. Lalu membahas ujian si kakak, berlanjut ke si kecilmu yang terlalu baik di sekolah sehingga acapkali jadi korban kenakalan teman-temannya. Dan akhirnya, membawa kami berfikir, sebenarnya, anak-anak kami ini mau dibawa kemana melalui pendidikan di sekolahnya. Pendidikan di sekolah tak pernah punya cukup waktu untuk mendalami tentang pendidikan karakter, anak-anak hanya harus sekolah dan mendapat nilai tinggi, lalu lulus. Anak-anak tidak diajarkan dengan sebenar-benarnya tentang bagaimana tatacara bersikap, bergaul, berteman. Sebatas teori mungkin ada, namun bagaimana teori itu mewujud dalam pergaulan sehari-hari sepertinya masih menjadi pekerjaan orangtua masing-masing untuk mewujudkannya.

Tetes terakhir kopi dari cangkir kami sudah berpindah ke kerongkongan, dirimu sudah terdengar melemah menahan kantuk, dan akupun harus bersiap untuk perjalanan esok pagi.  Obrolan sore ini, dan obrolan kemarin dan obrolan-obrolan kita nanti, akan menjadi catatan catatan bermakna. Bagaimana aku bisa bosan membagi kisah denganmu??

Minggu, 07 April 2013

Kita

Suara alarm memecah pagi buta pada hari ke delapan bulan ketiga di tahun tigabelas, bersahut-sahutan dari segala penjuru kamar. Aku membuka mataku dan segera membasuh diri dengan sejuknya wudhu pagi. Menghaturkan sembah sujud kepada Yang Maha Memiliki diriku. Melantunkan sebaris doa, untukku dan orang-orang yang aku sayangi yang masih bersama di dunia ini maupun Bapak Ibu yang telah damai di dunianya. 

Aku terduduk setelahnya. Diluar terdengar rintik air hujan ditingkahi lembut suara Leona Lewis dari musik playerku. Mataku menerawang ke langit-langit kamar, ingatanku hinggap pada sesosok yang akhir-akhir ini senantiasa mengisi hari-hariku, melengkapi kosong disebelah jiwa, setia memupukkan semangat dan membuat aku melupakan luka yang menganga sekian lama. Sosok yang tak pernah menjanjikan akan mengobati lukaku, namun dengan caramu aku melupakan luka itu, dan aku menyembuhkan diriku sendiri.  

Mencintai itu bukan tentang bisa memberikan segala yang terbaik dalam serba kecukupan namun memberikan segala yang terbaik yang mampu diberikan meskipun dalam kekurangan. Kemampuan untuk membagi semangat dan membangkitkan jiwaku yang letih. Memampukan diriku menguatkanmu disaat cobaan menghampirimu. Ikut merasakan manakala dirimu berbahagia. Ikut tertawa manakala aku bergembira. Ketulusanlah yang mempertemukan jiwa kita.

Meski terkadang tak sejalan, namun tak pernah terlintas untuk saling memaksakan. Tetap menggenggam erat  tangan, menggenggam erat hati. Saling menghargai dengan penuh ketulusan. Menyusuri jalan walaupun tak tahu dimana kan berujung. Lirih di hening malam, selantun doa, "Tuhan, ijinkan kami senantiasa berbahagia bersama"

Sebelum Fajar

Mengungkap rindumu yang membuncah tertahan, tak mampu kau tutupi dengan kegagahanmu. Ada sisi kekanakan dan manja ketika rasa itu datang, menguapkan semua kewibawaan. Tawa canda berderai setiapkali aku ada disisimu. Aku, yang kau cari. Aku yang kau kejar dengan sejuta harap cemasmu. Aku yang tak kunjung menghiraukanmu. Aku yang berdiri dengan segenap keangkuhanku. Selalu saja, aku berusaha pergi darimu, namun entah kenapa hatimu selalu bertahan menujuku. Hingga sampailah aku pada satu titik dimana tak bisa lagi mengelakkanmu. Dan aku tak lagi menemukan alasan untuk tidak membagi  bahagia denganmu.

Dalam rajutan hari demi hari, setiap alur benang kehidupan terjalin melembarkan satu kisah. Suka duka tak pernah tersimpan dalam kebisuan. Kau selalu menyediakan bahumu untukku bersandar dikala letih dan pedih, begitupun sebaliknya, manakala dirimu terjatuh dan terpuruk, selalu ada tanganku terulur dan dekapku yang menenangkanmu. 

Mungkin orang mengatakan aku manusia gila, karena menghidupkan sosokmu yang tak nyata dalam anganku. Seakan-akan kau benar-benar ada dan menjadi belahan jiwaku. Mungkin jiwaku memang sudah terbelah, sebelah didunia nyata, dan sebelah lagi kau bawa. Entah, akupun tak pernah tahu sampai kapan cerita ini kan berakhir. Berakhir dan menjadi nyata atau berakhir menguap bersama angan yang terbuang, aku tak peduli. 

Pada akhirnya bahagia juga hanya ada didalam angan. Biarkan malam ini aku bersamamu dalam anganku, membagi kisahku tanpa jeda, titik taupun koma. Sepanjang malam ini. Karena fajar nanti aku harus membangunkan diriku ke alam nyata untuk bersiap berlaga, tanpa canda tawa. Biarkan esok menjadi milik esok. Nikmati malam ini dalam bahagia kita.