Sabtu, 15 Juni 2013

Limpieza

Tatkala aku kehilangan kata-kata. Tebaran huruf di tuts keyboard tak mampu kurangkai menjadi sebuah alur cerita. Pikiran, perasaan berkecamuk sebuah kegalauan. Dalam kesadaran aku mengerti, aku tak boleh melukai jiwaku sendiri. Segala perasaan dan hal buruk tak seharusnya kusimpan dalam-dalam. Namun terlanjur, benih perasaan  itu tumbuh subur dan mengakar kuat, sehingga ketika aku bisa memangkas habis dedaunan, ranting,dahan dan batangnya, akarnya masih menancap dalam. Seperti sembilu yang menyebar di sepenjuru hatiku. Aku hanya mampu tergolek lemah sambil menahan perihnya, "tolong..."

Tak sesiapapun mendengar permohonanku, bertahun-tahun aku mencari penawarnya. Tak juga kumenemukannya. Dengan menahan rasa sakitnya, aku terus melanjutkan hidupku. Menyibukkan diri dengan gelora gempita dunia, hingga terkadang mampu aku melupakan pedihnya. Namun rupanya bibit yang tertanam dalam tak pernah mati ataupun keluar terbuang. Kemana lagi kan kucari racun pemusnahnya?? Sempat beberapa kali kucoba, namun semua mengakibatkan sebuah kebalikan, hanya hilang sesaat, namun kembali tumbuh, bahkan lebih subur dari yang sebelumnya, bagaikan tanaman hibrida yang dengan sangat cepat tumbuh kembali. 

Aku nyaris putus asa dalam tanda tanya. 

Setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga hitungan belasan tahun, menempuh ribuan mil jarak dan ribuan hari, aku tak pernah tahu, apakah yang membuat sembilu itu terus mengiris. Hingga akhirnya pada sebuah kuil aku menemukan lentera. Pada puncak kelelahan, pada sebuah titik kepasrahan aku menemukan tempat dimana aku bisa berbaring. Dalam keheningan aku menggali dalam-dalam, jauh ke kedalaman jiwa. Kucoba mengenali, sedalam apakah akar setajam sembilu itu menghujam ke kedalamanku. Dalam, sangat dalam. Aku terperangah dan hanya mampu tergolek kembali, sembari menjentikkan jari jemari mengirimkan sebuah isyarat, "tolong, aku tak mampu mencabutnya sendiri...." 

Aku tak sadar apa yang telah terjadi, entah tertidur, ataukah pingsan. 

Sejurus kemudian ketika aku membuka mata, terbangun dalam hitungan tak sampai berganti jam. Terasa begitu ringan, damai, tak ada lagi perih. Lenyap. Jelas sekali aku ingat, tadinya aku terbaring dengan rasa perih yang begitu terasa menyakitkan. Aku mencoba mengumpulkan kesadaran, sebuah pesan tertulis untukku, "benih benih yang mengakar dalam sudah aku bersihkan, maafkan semua dan mintalah maaf atas semua yang telah terjadi, sekarang ini biarkan semua mengalir saja, dan biarkan semua menjadi lebih baik"



Denpasar, May 25th, 2013 at 05.39.05
atma namaste

Tidak ada komentar:

Posting Komentar