Sabtu, 21 September 2013

Diam

Balutan energi kasih sayang perlahan-lahan menyurut seiring hantaman-hantaman kenyataan. Tak cukup lagi tenaga untuk terus bertahan menggenggam sesuatu yang nyaris lepas. Pada sebuah kenyataan, bahwa yang selama ini ada dalam dekapan adalah hologram, indah namun hanya bayangan. Halusinasi yang memabukkan. Dirimu menawarkan secangkir anggur, cantik namun memabukkan. 

Ketika gelombang panas datang, tubuh nyaris terbakar. Namun lagi-lagi kesadaran diri menjadi penyelamat. Bersyukur karena ada yang menghentak sehingga ego mampu dicabut. 

Pernah menginginkan satu pembelaan, namun justru dengan diammu membawa aku ke dasar kesadaran, bahwa yang terbaik adalah keheningan. Saat terdiam, bisu dan sunyi aku merasa tak lagi ada kasihmu yang meradiasi. Tak ada penjelasan dan tak ada kepentingan lagi. Ketika hanya berbicara di satu sisi, disitulah waktu untuk mengerti bahwa inilah saat untuk pergi. Karena setiap keterikatan pada sesuatu adalah menyakitkan, kecuali keterikatan dengan Tuhan. Semua harus ditanggalkan bila waktunya tiba. Karena datangmupun aku tak pernah meminta, begitupun pergimu aku tak meminta. Pergilah dalam diam. 

Dalam diam kuterima apapun baik buruk darimu, dan aku kembalikan kepadaNYA atas semua beban yang tak sanggup aku memikulnya sendiri. Terimakasih sudah diam.

Sabtu, 15 Juni 2013

Limpieza

Tatkala aku kehilangan kata-kata. Tebaran huruf di tuts keyboard tak mampu kurangkai menjadi sebuah alur cerita. Pikiran, perasaan berkecamuk sebuah kegalauan. Dalam kesadaran aku mengerti, aku tak boleh melukai jiwaku sendiri. Segala perasaan dan hal buruk tak seharusnya kusimpan dalam-dalam. Namun terlanjur, benih perasaan  itu tumbuh subur dan mengakar kuat, sehingga ketika aku bisa memangkas habis dedaunan, ranting,dahan dan batangnya, akarnya masih menancap dalam. Seperti sembilu yang menyebar di sepenjuru hatiku. Aku hanya mampu tergolek lemah sambil menahan perihnya, "tolong..."

Tak sesiapapun mendengar permohonanku, bertahun-tahun aku mencari penawarnya. Tak juga kumenemukannya. Dengan menahan rasa sakitnya, aku terus melanjutkan hidupku. Menyibukkan diri dengan gelora gempita dunia, hingga terkadang mampu aku melupakan pedihnya. Namun rupanya bibit yang tertanam dalam tak pernah mati ataupun keluar terbuang. Kemana lagi kan kucari racun pemusnahnya?? Sempat beberapa kali kucoba, namun semua mengakibatkan sebuah kebalikan, hanya hilang sesaat, namun kembali tumbuh, bahkan lebih subur dari yang sebelumnya, bagaikan tanaman hibrida yang dengan sangat cepat tumbuh kembali. 

Aku nyaris putus asa dalam tanda tanya. 

Setahun, dua tahun, tiga tahun, hingga hitungan belasan tahun, menempuh ribuan mil jarak dan ribuan hari, aku tak pernah tahu, apakah yang membuat sembilu itu terus mengiris. Hingga akhirnya pada sebuah kuil aku menemukan lentera. Pada puncak kelelahan, pada sebuah titik kepasrahan aku menemukan tempat dimana aku bisa berbaring. Dalam keheningan aku menggali dalam-dalam, jauh ke kedalaman jiwa. Kucoba mengenali, sedalam apakah akar setajam sembilu itu menghujam ke kedalamanku. Dalam, sangat dalam. Aku terperangah dan hanya mampu tergolek kembali, sembari menjentikkan jari jemari mengirimkan sebuah isyarat, "tolong, aku tak mampu mencabutnya sendiri...." 

Aku tak sadar apa yang telah terjadi, entah tertidur, ataukah pingsan. 

Sejurus kemudian ketika aku membuka mata, terbangun dalam hitungan tak sampai berganti jam. Terasa begitu ringan, damai, tak ada lagi perih. Lenyap. Jelas sekali aku ingat, tadinya aku terbaring dengan rasa perih yang begitu terasa menyakitkan. Aku mencoba mengumpulkan kesadaran, sebuah pesan tertulis untukku, "benih benih yang mengakar dalam sudah aku bersihkan, maafkan semua dan mintalah maaf atas semua yang telah terjadi, sekarang ini biarkan semua mengalir saja, dan biarkan semua menjadi lebih baik"



Denpasar, May 25th, 2013 at 05.39.05
atma namaste

Minggu, 05 Mei 2013

Perjalanan Seribu Mil ke Dalam Hatimu

Hari ini, hitungan menjadi genap, dua angkamu menghasilkan lambang sempurna, sepuluh.
Hari ini,
Aku sangat ingin berada disisimu saat hari menggenapkan angkamu.
Aku sangat ingin memberikan kado terindah untukmu di hari keramatmu.
Tapi tak mampu kutemukan hadiah paling berharga,
kado paling istimewa,
persembahan paling dikenang,
Aku hanya mampu memberikan hati dan segenap perhatianku, menjadi pelabuhanmu, tempat melepas penat dan letihmu.
Aku hanya mampu menyediakan benang-benang kecil cerita yang siap kita rajut sepanjang hari..


^_^

Rabu, 17 April 2013

Kopi Kita

Bagaimana aku bisa bosan membagi kisah denganmu, bila selalu saja ada hal baru yang kita bicarakan. Bukan sekedar bicara. Bukan sekedar hal baru yang biasa. Namun tentang satu pelajaran hidup. Obrolan ringan malam ini, berawal dari secangkir kopi, ketika kamu menerangkan tentang apakah itu kopi luwak pada si kecil. Aku terpingkal-pingkal ketika tahu bahwa si kecil bingung dengan deskripsi "Kopi Luwak". "Kopi itu kan tumbuhan Yah? dan Luwak itu kan binatang?" dan aku kembali tersenyum manakala mendengar kesabaranmu menerangkan dengan panjang lebar padanya apakah itu "Kopi Luwak". Kebetulan, pada saat yang sama, aku tengah menyeduh kopi hitam disini, sambil tersenyum simpul mendengarkan penjelasanmu. kamupun akhirnya beranjak menyeduh secangkir White Cofee. Dengan dua cangkir kopi yang sesungguhnya, satu di sini dan satu lagi di tempatmu, melengkapi obrolan kesana kemari, meskipun tak saling memandangi, namun serasa tengah berbincang bersama, tak mengurangi kenikmatan kopi sore kita.

Sore ini tentang seputar sekolah anak-anak, tentang si kecilku yang besok menghadapi Unas (yang tengah menjadi trending topik), bagaimana tegangnya kami menghadapi ini, hingga kamu pun ikut tegang dan protes  keras karena aku tidak tahu jadwal ujian si kecilku besok. Lalu membahas ujian si kakak, berlanjut ke si kecilmu yang terlalu baik di sekolah sehingga acapkali jadi korban kenakalan teman-temannya. Dan akhirnya, membawa kami berfikir, sebenarnya, anak-anak kami ini mau dibawa kemana melalui pendidikan di sekolahnya. Pendidikan di sekolah tak pernah punya cukup waktu untuk mendalami tentang pendidikan karakter, anak-anak hanya harus sekolah dan mendapat nilai tinggi, lalu lulus. Anak-anak tidak diajarkan dengan sebenar-benarnya tentang bagaimana tatacara bersikap, bergaul, berteman. Sebatas teori mungkin ada, namun bagaimana teori itu mewujud dalam pergaulan sehari-hari sepertinya masih menjadi pekerjaan orangtua masing-masing untuk mewujudkannya.

Tetes terakhir kopi dari cangkir kami sudah berpindah ke kerongkongan, dirimu sudah terdengar melemah menahan kantuk, dan akupun harus bersiap untuk perjalanan esok pagi.  Obrolan sore ini, dan obrolan kemarin dan obrolan-obrolan kita nanti, akan menjadi catatan catatan bermakna. Bagaimana aku bisa bosan membagi kisah denganmu??

Minggu, 07 April 2013

Kita

Suara alarm memecah pagi buta pada hari ke delapan bulan ketiga di tahun tigabelas, bersahut-sahutan dari segala penjuru kamar. Aku membuka mataku dan segera membasuh diri dengan sejuknya wudhu pagi. Menghaturkan sembah sujud kepada Yang Maha Memiliki diriku. Melantunkan sebaris doa, untukku dan orang-orang yang aku sayangi yang masih bersama di dunia ini maupun Bapak Ibu yang telah damai di dunianya. 

Aku terduduk setelahnya. Diluar terdengar rintik air hujan ditingkahi lembut suara Leona Lewis dari musik playerku. Mataku menerawang ke langit-langit kamar, ingatanku hinggap pada sesosok yang akhir-akhir ini senantiasa mengisi hari-hariku, melengkapi kosong disebelah jiwa, setia memupukkan semangat dan membuat aku melupakan luka yang menganga sekian lama. Sosok yang tak pernah menjanjikan akan mengobati lukaku, namun dengan caramu aku melupakan luka itu, dan aku menyembuhkan diriku sendiri.  

Mencintai itu bukan tentang bisa memberikan segala yang terbaik dalam serba kecukupan namun memberikan segala yang terbaik yang mampu diberikan meskipun dalam kekurangan. Kemampuan untuk membagi semangat dan membangkitkan jiwaku yang letih. Memampukan diriku menguatkanmu disaat cobaan menghampirimu. Ikut merasakan manakala dirimu berbahagia. Ikut tertawa manakala aku bergembira. Ketulusanlah yang mempertemukan jiwa kita.

Meski terkadang tak sejalan, namun tak pernah terlintas untuk saling memaksakan. Tetap menggenggam erat  tangan, menggenggam erat hati. Saling menghargai dengan penuh ketulusan. Menyusuri jalan walaupun tak tahu dimana kan berujung. Lirih di hening malam, selantun doa, "Tuhan, ijinkan kami senantiasa berbahagia bersama"

Sebelum Fajar

Mengungkap rindumu yang membuncah tertahan, tak mampu kau tutupi dengan kegagahanmu. Ada sisi kekanakan dan manja ketika rasa itu datang, menguapkan semua kewibawaan. Tawa canda berderai setiapkali aku ada disisimu. Aku, yang kau cari. Aku yang kau kejar dengan sejuta harap cemasmu. Aku yang tak kunjung menghiraukanmu. Aku yang berdiri dengan segenap keangkuhanku. Selalu saja, aku berusaha pergi darimu, namun entah kenapa hatimu selalu bertahan menujuku. Hingga sampailah aku pada satu titik dimana tak bisa lagi mengelakkanmu. Dan aku tak lagi menemukan alasan untuk tidak membagi  bahagia denganmu.

Dalam rajutan hari demi hari, setiap alur benang kehidupan terjalin melembarkan satu kisah. Suka duka tak pernah tersimpan dalam kebisuan. Kau selalu menyediakan bahumu untukku bersandar dikala letih dan pedih, begitupun sebaliknya, manakala dirimu terjatuh dan terpuruk, selalu ada tanganku terulur dan dekapku yang menenangkanmu. 

Mungkin orang mengatakan aku manusia gila, karena menghidupkan sosokmu yang tak nyata dalam anganku. Seakan-akan kau benar-benar ada dan menjadi belahan jiwaku. Mungkin jiwaku memang sudah terbelah, sebelah didunia nyata, dan sebelah lagi kau bawa. Entah, akupun tak pernah tahu sampai kapan cerita ini kan berakhir. Berakhir dan menjadi nyata atau berakhir menguap bersama angan yang terbuang, aku tak peduli. 

Pada akhirnya bahagia juga hanya ada didalam angan. Biarkan malam ini aku bersamamu dalam anganku, membagi kisahku tanpa jeda, titik taupun koma. Sepanjang malam ini. Karena fajar nanti aku harus membangunkan diriku ke alam nyata untuk bersiap berlaga, tanpa canda tawa. Biarkan esok menjadi milik esok. Nikmati malam ini dalam bahagia kita. 

Senin, 25 Maret 2013

Memeluk Bahagiaku

Menghitung mundur keberadaanmu, dalam pasang surut, tak terasa telah sekian lama. Entah apa rasanya. Aku tak mampu lagi menafsirkan. Karena hatiku sudah terlalu aus dan tak mampu lagi merasa. Andai aku ini malaikat, tentu aku sudah terbang jauh dan takkan membiarkanmu gegabah hadir dalam hidupku. 

Jejak jejakmu mewarnaiku

Meskipun suram, namun mataku masih kuat bertahan untuk melihat secercah rasa. Aku membiarkanmu bahagia atas rasa itu. Aku tak punya kekuatan untuk beranjak dan membiarkan diriku berlalu. Aku tahu, tak hanya aku yang ada menaburi kerlip kerlip hatimu, namun entah, kemanapun aku berusaha menghindar, kau selalu berhasil menemukan aku. 

Kesedihan memilih beranjak menjauhiku

Pijar-pijar kecil berpendar, bertaburan di gelapnya langit. Gulita menjadi selimut malam, menyembunyikan wajah-wajah manusia dalam lelapnya. Namun bukan wajahmu, wajahmu tak pernah berhasil kau sembunyikan dari aku. Entah cahaya dari mana, dalam gelap ini aku masih mampu mengenali dengan jelas, setiap lekuk wajahmu. Kelelahan yang tertutupi canda. Wajah yang terkadang nampak jauh lebih renta dibanding usia yang sebenarnya, saat ini terlihat muda dan bahagia.

Malam ini sunyi tak punya kuasa atas diriku.

Aku menemuimu, duduk diatas bangku taman yang panjang. Meskipun belum mampu aku menjamah dalam lubuk hatimu, setidaknya aku melihat permukaanmu mengembangkan senyuman. Kamu tengah berbahagia. Aku duduk disebelahmu, dan memeluk bahagiaku sendiri.  

Kamis, 14 Februari 2013

Rembang Petang

Senja di bulan kedua tahun 2013, hampir setahun aku berada di pulau seberang ini, hampir setahun pula aku mengetahui sosokmu. Anganku melayang jauh ke sebelas bulan lalu, ingatan yang senantiasa mengharu biru dan tak pernah bosan aku kenangkan. Meskipun aku tahu, kau tak pernah suka mengenang-ngenangkan masa masa itu. Biarlah aku yang menyimpannya.

Masih tersimpan dalam kotak mungilku, sebaris puisi sarat makna,
" senyuman itu tlah menjadi darah dan daging yang selalu melekat dalam tulangku,
  dan namamu kan selalu menjadi jiwa dalam setiap gerak dan langkah tubuhku,
  begitu juga dengan hatimu, kan menggema lewat nada dan sikap hidupku,
  menempuh perjalanan, dalam kesendirian,
  menapaki angan,
  menggenggam sebuah impian.. "
~Jogja 23 Juni 2012 18:56 wib~ 
Dan senjapun beranjak petang, aku harus berkemas-kemas dan menyimpan semua kenangan indahmu pada tempatnya, kan kujaga selalu, seperti janjiku padamu.. I love you.. ^_^

Minggu, 06 Januari 2013

One Sweet Day

Ada kerinduan tertahan dalam setiap kata yang kau ucap. Meski kau berusaha menyembunyikannya namun kau tak pernah berhasil menutupinya. Banyak hal telah kita lewati, pahit getir, namun tiap kali kerinduan itu selalu datang, dan selalu manis setiap pertemuan yang kita lalui.
Rasanya ingin cepat-cepat sampai. Sudah lewat senja, hujan lumayan deras, namun itu tak membuat kita mengurungkan niat. Menembus hujan dan pekatnya malam. Jalanan macet nyaris membuatmu kehilangan kesabaran, namun semua terbayar dengan satu pertemuan panjang malam itu.

Duduk dan berbicara panjang lebar, memuaskan dahaga jiwa atas waktu lalu yang terpisahkan jarak. Meskipun diantara rintik hujan, dingin tak lagi terasa olehku. Dirimu begitu piawai membawa suasana, itu yang selalu membuatku nyaman. Canda tawa dan senyum selalu menghiasi wajahmu, tak terasa semua kepedihan hidup bila didekatmu. Aku hanya ingin di dekatmu, hanya ingin mendengar suaramu, menatap wajahmu, itu saja.

"Temani aku, malam ini." katamu. Kamipun duduk dikelilingi teman-teman yang asyik bercerita panjang lebar. Tentang hidup dan ketidakadilan. Tentang pekerjaan dan tantangan, tentang atasan dan kesewenangan. Malam itu aku tahu, betapa ketidakadilan telah membelenggumu selama ini, betapa kau harus menanggungkan akibat dari kesalahan oranglain. Hatiku pedih. Aku hanya bisa menatapmu dalam-dalam,  melihat sosokmu yang duduk santai disampingku. Betapa kuat kamu menahannya, kamu tak pernah mengeluhkan itu, kamu tak pernah mengatakan lelahmu padaku. Untukku kamu selalu tersenyum dan bergembira, justru aku yang selalu merepotkanmu dengan segala keluhkesah dan rengekan manjaku. Dalam percakapan panjang malam itu, yang membicarakan kepedihan hidupmu, kamu tetap tersenyum, sesekali kamu pandangi aku, sambil erat menggenggam tanganku. Malam itu aku berjanji pada diriku, akan selalu ada untuk bahagiamu. Tak kuucap padamu, namun kugenggam erat dalam jiwaku, seerat genggaman tanganmu.